Traveling low budget, nggak gini-gini amat kali!
Nginget peristiwa yang satu ini selalu bikin ngakak sendiri. Hahahahaha. Tuh kan ketawa lagi. Oke Enough! Eh kalo kalian bosan sama paket wisata yang gitu-gitu aja, mungkin yang satu ini bisa dicoba. Berwisata sambil belajar sejarah bakal ngasih pengalaman yang unik.
Yups! Berkunjung ke Istana Ratu Boko bisa jadi alternatif pilihan yang tepat. Tempat wisata yang terletak sekitar 3 KM sebelah selatan dari kompleks Candi Prambanan ini menawarkan suasana sejuk yang sarat mitos dan legenda.
Lookasinya yang berada di ketinggian 196 meter di atas permukaan air laut memberikan panorama yang eksotis dengan pemandangan kota Yogyakarta lengkap dengan Candi Prambanan serta berlatarbelakang Gunung Merapi di sebelah utara. Jadi wajar bila banyak para calon pengantin melakukan sesi prewed di sini. Bisa jadi referensi tuh. Eh, emang udah ada pasangannya? Hahaha.
Nah, Istana Ratu Boko
sendiri berdiri diatas lahan seluas 250 ribu meter persegi yang terbagi empat area, yaitu tenggah, tenggara, timur dan barat. Kalau kamu melalui rute "wajar" urutan jalur
yang dilalui di antaranya dari Gapura, Batu Putih, Candi Pembakaran, Sumur Suci,
Struktur Umpak, Pasemban, Pendopo, Kolam, Keputren dan berakhir di Goa. Kenapa
aku bilang rute wajar? Karena itu penyebab kutukan ini. Jadi, baca sampai akhir.
Hemmm, jadi kayak gini ceritanya. Kita berangkat berenam, lima cewek dan satu cowok, namanyaAdit. Nah Adit ini ngajak masuk lewat pintu belakang. Katanya sih uang jatah tiket masuk bisa buat makan enak ketika pulang. Mungkin dia prihatin ngelihat wajah melas anak kost yang jarang makan enak. Tanpa berfikir panjang, kita setuju. Yah meski ada sedikit perang batin, tapi tak apalah, toh pulang bakalan makan mevvah. Hahaha.
Sampai di tempat
tujuan, motor dititipin lalu kita jalan kaki. Tak sampai tiga menit, batu-batu
reruntuhan candi sudah berada di depan mata dan bagian pertama yang kita
kunjungi adalah kolam. Ada dua kolam di sini, yaitu sebelah utara yang
berbentuk persegi dan di bagian selatan yang berbentuk budar.
Aku sibuk ber-narsis-ria dengan Intan, temen kost yang ngeboncengin aku selama perjalanan ini. Sementara yang lain sibuk mengambil gambar untuk tugas serta observasi. Empat dari kita calon guru sejarah, dan aku sama intan memang niat berwisata. Yah sambil menyelam minum air lah.
Setelah bosan berada di kolam, kita masuk ke bagian keputren. Cukup lelah dengan segala pose foto, kita istirahat di sebuah bangku tepat di bawah pohon rindang menghadap ke arah pendopo sambil menyantap kudapan ringan.
Aku sibuk ber-narsis-ria dengan Intan, temen kost yang ngeboncengin aku selama perjalanan ini. Sementara yang lain sibuk mengambil gambar untuk tugas serta observasi. Empat dari kita calon guru sejarah, dan aku sama intan memang niat berwisata. Yah sambil menyelam minum air lah.
Setelah bosan berada di kolam, kita masuk ke bagian keputren. Cukup lelah dengan segala pose foto, kita istirahat di sebuah bangku tepat di bawah pohon rindang menghadap ke arah pendopo sambil menyantap kudapan ringan.
Udah lama di sini kita
bahkan belom ngelihat gapura megah nan indah, yah maklum lah kita kan masuk
lewat belakang, jadi rutenya di balik. Enough!
Di skip aja yang bagian itu. Okey, let's go buat lanjuting perjalanan menuju
gerbang depan, sambil sesekali mengambil jejak abadi alias berfoto di beberapa
tempat seperti dua batur luas yang di sebut Paseban.
Eh Pintu gerbangnya uda kelihatan tuh. Tapi ada sesuatu yang ganjil. Kita baru sadar kalau para pengunjung yang masuk lewat pintu depan -Jalur Legal- semuanya pake jarik (kain batik) yang dililitkan ke pinggang ala sarung pantai. Kalo kalian pernah ke Candi Borobudur atau Prambanan pasti tau bentuknya.
Ketika sedang asyik bertanya-tanya dengan penjual asongan. Tiba-tiba dari belakang muncul sosok tubuh yang sebenarnya sih ngak begitu kekar, bahan bisa di bilang agak cungkring. Cuma apa yang ia kenakan itu membuat kita agak was-was. Sepertinya dia staf pengamanan. Merasa menyalahi aturan yang ada kita pun menyebar bagai semut di siram air.
Setelah situasi dirasa aman, kemudian kita berkumpul di salah satu warung. Lumayan bisa pesen es buat nenangin hati yang panas plus makan siang, eh sarapan ding. Maklum anak kost jarang sarapan, alasan klasik “biar ngirit”.
Eh Pintu gerbangnya uda kelihatan tuh. Tapi ada sesuatu yang ganjil. Kita baru sadar kalau para pengunjung yang masuk lewat pintu depan -Jalur Legal- semuanya pake jarik (kain batik) yang dililitkan ke pinggang ala sarung pantai. Kalo kalian pernah ke Candi Borobudur atau Prambanan pasti tau bentuknya.
Ketika sedang asyik bertanya-tanya dengan penjual asongan. Tiba-tiba dari belakang muncul sosok tubuh yang sebenarnya sih ngak begitu kekar, bahan bisa di bilang agak cungkring. Cuma apa yang ia kenakan itu membuat kita agak was-was. Sepertinya dia staf pengamanan. Merasa menyalahi aturan yang ada kita pun menyebar bagai semut di siram air.
Setelah situasi dirasa aman, kemudian kita berkumpul di salah satu warung. Lumayan bisa pesen es buat nenangin hati yang panas plus makan siang, eh sarapan ding. Maklum anak kost jarang sarapan, alasan klasik “biar ngirit”.
Gapura ke-2 Istana Ratu Boko |
Celotehan kita
kebanyakan peristiwa tadi. Adit pun jadi santapan empuk buat disalah-salahin.
Dan entah muncul dari mana bapak staf pengamanan itu melintas di depan warung
sambil menyapa ibu pemilik warung. Kita pun terdiam sejenak dan menyibukkan
diri dengan semangkok soto sebagai pelampisan. Bersyukur bapak itu tak mampir,
hanya numpang lewat aja. Hem… namanya juga illegal, bagaimanapun hati bisa tenang?
Selesai makan kita bergegas
untuk pulang sebelum keadaan semakin parah. Berjalan beberapa menit, langkah
kaki kita terhenti. Bapak tadi duduk di bangku yang berjarak sepuluh meter dari jalur
depan Pendopo. Wajahnya kelihatan ramah sih. Tapi tetap saja kita takut. Dan
yang menjadi masalah adalah, itu satu-satunya jalur yang diketahui Adit untuk
kembali mengambil motor.
Kita pun mengulur waktu. Siapa tau staf pengamanan itu pergi. Dan apa yang terjadi? Hingga enam puluh menit kemudian beliau tak beranjak. Padahal kulit kita udah gosong karena matahari memang sudah melewati ubun-ubun.
Kita pun mengulur waktu. Siapa tau staf pengamanan itu pergi. Dan apa yang terjadi? Hingga enam puluh menit kemudian beliau tak beranjak. Padahal kulit kita udah gosong karena matahari memang sudah melewati ubun-ubun.
Tak mau menunggu lebih
lama, kita pun mencari jalur lain dengan menembus area samping pendopo. Sumpah
bagunan ini gede baget dan tanpa sengaja kita terpisah jadi dua kelompok. Aku,
Intan dan Adit. Sementara JP, Novel sama Manda. Ooh God apa lagi ini?
Adit sibuk mencari jalan alternatif. Aku sama Intan memanfaatkan waktu yang ada untuk kembali mengabadikan moment. Tapi hasilnya jelek, suasana hati memeng tak bisa dibohongi. Adit udah nemuin jalurnya tapi kok tiga temen sekelasnya belum kelihatan juga. Setelah di tenggok di balik tembok pendopo, ternyata mereka juga lagi asyik berfoto-foto. Sumpah yah narsis gila.
Adit sibuk mencari jalan alternatif. Aku sama Intan memanfaatkan waktu yang ada untuk kembali mengabadikan moment. Tapi hasilnya jelek, suasana hati memeng tak bisa dibohongi. Adit udah nemuin jalurnya tapi kok tiga temen sekelasnya belum kelihatan juga. Setelah di tenggok di balik tembok pendopo, ternyata mereka juga lagi asyik berfoto-foto. Sumpah yah narsis gila.
Untuk kesekian kalinya
kita nurut apa kata Adit. Kita keluar melalui jalur baru di belakang bangunan
pendopo. Awalnya jalanan agak menurun dengan beberapa bebatuan dan sempat
melewati sunggai kecil yang hanya dilalui dengan sebatang kayu. Aku sih suka
wisata alam, tapi ngak kayak gini juga.
Sampai di bawah kita harus miminta maaf kepada warga setempat karena kita melalui kamar mandi serta sumur mereka. Ouh God aku bertobat. Eits, kutukan ini belum usai. Perjalan menuju tempat parkir motor masih sekitar 1 KM lebih. Jangan dibayangin jalan aspal yang mulus plus datar yah. Ini jalan pegunungan bergelombang, naik turun plus bebatuan. Jangan di Tanya bagaimana kondisi kaki kita, uda pasti lecet. Secara sepatu kita tak didukung untuk perjalanan jauh.
Setengah perjalanan, beberapa dari kita mengeluh kecapekkan. Adit yang merasa bersalah ngajak istirahat dulu. Apes, bekal yang tersisa hanya dua biji buah naga merah serta sebotol air putih. Adit memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sendiri, tapi Manda tak tega. Akhirya mereka berdua berjalan melanjutkan perjalanan untuk mengambil motor. Sekitar 45 menit mereka balik dan kita pun pulang bersama-sama. Serius ini pertama kalinya aku wisata illegal. Dan KAPOK! Tapi kita jadi makan “Sate Ayam Ponorogo” di sekitar Pasar Legi. Meski badan mengigil karena kehujanan, tapi satenya tetep enak.
Sampai di bawah kita harus miminta maaf kepada warga setempat karena kita melalui kamar mandi serta sumur mereka. Ouh God aku bertobat. Eits, kutukan ini belum usai. Perjalan menuju tempat parkir motor masih sekitar 1 KM lebih. Jangan dibayangin jalan aspal yang mulus plus datar yah. Ini jalan pegunungan bergelombang, naik turun plus bebatuan. Jangan di Tanya bagaimana kondisi kaki kita, uda pasti lecet. Secara sepatu kita tak didukung untuk perjalanan jauh.
Setengah perjalanan, beberapa dari kita mengeluh kecapekkan. Adit yang merasa bersalah ngajak istirahat dulu. Apes, bekal yang tersisa hanya dua biji buah naga merah serta sebotol air putih. Adit memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sendiri, tapi Manda tak tega. Akhirya mereka berdua berjalan melanjutkan perjalanan untuk mengambil motor. Sekitar 45 menit mereka balik dan kita pun pulang bersama-sama. Serius ini pertama kalinya aku wisata illegal. Dan KAPOK! Tapi kita jadi makan “Sate Ayam Ponorogo” di sekitar Pasar Legi. Meski badan mengigil karena kehujanan, tapi satenya tetep enak.
Comments